A. Letak
Administratif dan Kondisi Geologi
Gunungapi
Colo merupakan gunungapi strato dan berdanau kawah (kaldera berdiameter 2 km)
yang terletak pada posisi geografis 0°10’ LS dan 121°36,5’ BT dengan ketinggian 486,9 mdpl. Secara administratif, gunungapi
Colo terletak di Pulau Una-una, Kabupaten Tojo Una-una, Provinsi Sulawesi
Tengah. Secara geografis, Gunung Colo terletak di lepas pantai Teluk Tomini. Selain
Pulau Una-una, ada beberapa pulau lainnya yang sedikit terpisah di sebelah
timur Pulau Una-una. Beberapa pulau-pulau di timur Pulau Una-una tersebut
antara lain Pulau Togian, Pulau Batudaka, Pulau Walekodi dan Pulau Waleabahi
yang tergabung dalam gugus Kepulauan Togian.
Teluk Tomini berbatasan dengan beberapa wilayah
dengan keadaan geologi yang berbeda, mulai dari lengan utara yang basement-nya
merupakan kerak samudera, bagian leher di barat yang merupakan kerak benua dan lengan
timur di sebelah selatan yang merupakan ofiolit. Gunung Colo diduga berdiri di atas
basement kerak samudera yang merupakan bagian dari Lengan Utara Sulawesi.
![]() |
Gambar 1 Peta Geologi Gunung Api Colo, Sulawesi Tengah |
B. Sejarah
Pembentukan Gunung Colo
Pulau
Una-Una berbentuk hampir bulat dengan garis tengah 20 km dengan puncak tertinggi
Bukit Sakora (486,9 m) yang berada di bagian barat laut. Pada aktifitas awal masa
pra sejarah, terbentuk kaldera yang bergaris tengah 2 km dengan danau kawah. Pada
awal tahun 1900 terbentuk sumbat lava yang dikenal sebagai Gunung Colo yang
berdampingan dengan sebuah danau kawah yang dikenal sebagai Danau Pokai.
Sebelum Erupsi 1983, keberadaan Danau Pokai, menjadi tempat pemeliharaan ikan
tawar. Danau Pokai berukuran panjang 600 m, lebar 190 m sedalam 1,5 m, berada
pada tinggi 250 m dpl dengan suhu yang tidak pernah melebihi suhu udara.
Gunung Colo merupakan gunungapi yang berada
di Teluk Tomini dan berada jauh dari zona subduksi. Gunungapi yang terdekat dengan
gunung ini adalah gunung-gunung di daratan Sulawesi Utara yang merupakan produk
dari subduksi. Gunung Colo bukan merupakan gunungapi yang terbentuk akibat
proses subduksi lempeng. Hal ini karena pada wilayah Teluk Tomini terdapat
cukup banyak episentrum gempa. Umumnya, gempa bumi pada zona subduksi memiliki
hiposentrum pada zona Benioff. Zona Benioff di sekitar Gunung Colo berada pada
kedalaman lebih dari 200 km (relatif lebih dalam). Bisa saja Gunung Colo
terbentuk akibat subduksi dengan Zona Benioff yang dalam ini, namun jika memang
subduksi yang terjadi, maka harusnya bukan hanya satu gunungapi saja yang terbentuk
di daerah ini, melainkan satu deret. Selain itu, Gunung Colo berada jauh dari
zona subduksi. Berbeda jauh dengan deretan gunungapi di Sulawesi Utara, jarak
antara zona subduksi dengan Gunung Colo ini lima kali lipatnya, bahkan lebih. Gunung
Colo diperkirakan terbentuk akibat rifting
by subduction rollback. Rifting ini terjadi pada daerah Teluk Tomini yang
merupakan implikasi dari subduction
rollback. Subduction rollback
merupakan peregangan kerak akibat perubahan sudut dari lempeng yang menunjam (subducting slab). Subduksi ini terjadi
di Laut Sulawesi, strike subduksi
tersebut sejajar dengan garis pantai Lengan Utara Sulawesi. Daerah ini
merupakan Palung Sulawesi Utara (North
Sulawesi Trench). Dengan adanya peregangan kerak di Teluk Tomini tersebut
menyebabkan kerak di bawah Teluk Tomini tersebut semakin menipis. Peregangan
ini terjadi pada Pliosen hingga Pleistosen. Dahulu, cekungan Gorontalo di Teluk
Tomini tidak sedalam sekarang. Cekungan ini mulai mendalam pada Miosen hingga
Pliosen (7-5 juta tahun yang lalu) seiring tekukan lempeng yang menunjam ke arah
selatan di Laut Sulawesi. Akibat penipisan kerak tersebut, terjadi rifting atau
pemekaran di wilayah Teluk Tomini. Rifting ini terbentuk akibat kerak bumi yang
memiliki elastisitas rendah, sehingga apabila ditarik maka akan meregang dan
sedikit mekar. Peregangan ini terbukti dari data GPS yang menunjukkan bahwa
Lengan Utara Sulawesi bergerak menjauh relatif terhadap Lengan Timur Sulawesi.
Peregangan atau pemekaran ini menjadi zona lemah pada batuan, sehingga dapat
diterobos oleh magma atau material mantel bumi.
Gunung Colo diprediksi terbentuk akibat hal
tersebut, terjadi penipisan atau peregangan kerak bumi pada wilayah Teluk
Tomini lalu ada material magmatik yang menerobos batuan pada kerak bumi lalu
muncul ke permukaan membentuk tubuh gunungapi di atas permukaan laut.
C. Sejarah
Erupsi Gunung Colo
Pulau Una-Una berada di tengah Lengan
Sulawesi, Teluk Tomini dan disana Gunung Colo tumbuh sebagai gunungapi soliter
karena agak menyimpang dari rangkaian jalur gunungapi Indonesia. Pada masa pra-sejarah,
pernah terjadi kegiatan vulkanik yang diikuti oleh pembentukan kaldera bergaris
tengah 2000 m dan membentuk danau. Dalam tahun 1898 atau awal 1900 terjadi
erupsi normal dan meninggalkan sumbat lava yang kemudian dikenal dengan Gunung
Colo. Setelah istirahat selama 83 tahun, pada 23 Juli 1983 terjadi erupsi
dahsyat yang menghancurkan sumbat lava serta membumihanguskan 2/3 Pulau
Una-Una.
Pada tahun 1975 ditemukan tembusan
solfatara/fumarola baru di suatu bukit di lereng timur laut, berjarak 1.500 m
dari puncak. Bukit tersebut berada di luar sistem Kawah Colo dan dikenal dengan
Bukit Ambo. Pada 20 Agustus 1982 Pulau Una-Una digoncang gempabumi, hingga akhir
Agustus sebanyak 41 kali gempa yang dirasakan penduduk. Berdasarkan data dari Badan
Meteorologi dan Geofisika stasiun Winangun, Manado, gempa terkuat terjadi pada
24 Agustus pukul 00.46.43 WITA yang berkekuatan 4,6 SR pada kedalaman 30 km. Gempabumi
tektonik kembali mengoncang Pulau Una-Una pada awal Juli 1983 yang berkekuataan
III pada skala MMI. Gempa tersebut semakin hari kian bertambah jumlah dan
intensitasnya.
Pada 18
Juli, jumlah gempa makin meningkat dan menyebabkan erupsi freatik pertama.
Sejak saat itu penduduk mulai diungsikan ke Pulau Togian dan Ampana (daratan Sulawesi).
Saat perahu pengungsi terakhir baru saja merapat di Lengan Sulawesi, tiba-tiba dari
kejauhan terlihat awan cendawan berukuran raksasa menyelimuti Pulau Una-una
pertanda Gunung Colo, gunungapi yang telah beristirahat selama 83 tahun meletus
pada tanggal 23 Juli 1983, pukul 16.23 WITA. Asap erupsi membumbung sangat
cepat dan dalam waktu sekejap dapat mencapai tinggi 15 km. Awan panas
(pyroclastic flow) tipe soufriere memusnahkan 2/3 pulau. Selang 4 jam
kemudian abu menghujani Kota Palu yang berjarak 180 km arah barat daya Colo dengan
tebal abu 1 cm yang kemudian menyebar sejauh 300 km di Sulawesi Selatan. Abu
erupsi ini juga sampai ke Kalimantan bagian timur. Erupsi mulai mereda pada
Oktober 1983 dan dinyatakan kegiatan Gunung Colo telah normal.
![]() |
Gambar 2 Sebaran Kolom Asap Erupsi Gunung Colo (Juli-awal Agustus 1983) |
Setahun
kemudian dilakukan penyelidikan terpadu, yaitu penyelidikan seismik dan pemetaan
bahan erupsi. Dari seismisitas diketahui bahwa antara Februari hingga Maret 1984
masih terjadi erupsi-erupsi asap secara sporadis dari dalam kawah. Selain itu,
diketahui pula bahwa sumbat lava telah habis dilontarkan dan menyisakan 3
(tiga) kawah dengan ukuran yang berbeda-beda. Dari pemetaan bahan erupsi, diketahui
ketebalan endapan hasil Erupsi 1983 bervariasi sejak dari pantai hingga ke puncak
:
- sektor
timur antara 5 cm - 120 cm
- sektor
utara antara 35 cm - 140 cm
- sektor
selatan antara 10 cm - 205 cm
- sektor
barat antara 50 cm - 600 cm
D. Keadaan
Sosial-Ekonomi Masyarakat Pulau Una-una (Kepulauan Togean)
Pada tahun 1983, Gunung Colo
meletus dan menyebabkan ribuan masyarakat, administrasi desa maupun kecamatan
juga berpindah ke lain tempat. Pada saat pengungsian, penduduk satu desa
dipindahkan dan dikumpulkan dalam satu wilayah desa dengan masing-masing
pemerintahan kembali ke asalnya. Di pulau Batudaka berdiri desa Tanjung Pude,
Una-una dan Lembanya. Sedangkan di pulau Togean berdiri desa Beko, Langger dan
Danda. Sebagian desa tersebut masih menggunakan nama-nama desa yang berasal
dari Una-una.
Secara administratif, Pulau Una-una masih termasuk dalam Kepulauan
Togean. Jumlah desa di kepulauan ini mencapai 47 desa dengan penduduk lebih
dari 30.000 jiwa. Sejak UU No.22/1999 diterapkan, seluruh desa di kepulauan
Togean telah memiliki Badan Perwakilan Desa (BPD) yang anggotanya dipilih
langsung oleh masyarakat desa. Sejak tahun 2003, seluruh kawasan kepulauan
Togean secara administratif masuk ke dalam wilayah kabupaten Tojo Una-una yang
baru terpisah dari kabupaten Poso.
Pada tahun 2003, Kabupaten Tojo
Una-una telah berdiri menjadi kabupaten sendiri. Masyarakat begitu bersemangat
untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan kembali mengolah lahannya dengan
tanaman jangka pendek (jagung, ubi, sayur-sayuran maupun kacang-kacangan) dan
jangka panjang (coklat dan kelapa). Selain berkebun, sebagian masyarakat Pulau
Una-una menjadi pelaut.
Transportasi laut merupakan sarana utama di kepulauan Togean
yang membantu mobilitas penduduk. Umumnya masyarakat menggunakan perahu mesin ketinting
untuk transportasi antar-pulau. Fasilitas lain yang penting namun minim di
kepulauan ini antara lain fasilitas air bersih, penerangan listrik dan sarana
telekomunikasi. Sebagian besar masyarakat kepulauan Togean memperoleh air bersih
dari mata air dan sumur gali, kecuali di beberapa tempat yang telah dikelola
PDAM. Sedangkan di kota-kota kecamatan sumber penerangan listrik diperoleh dari
PLN tenaga diesel, maupun melalui generator bantuan dengan iuran bulanan
sebagai ganti biaya solar dan perawatan. Untuk sarana telekomunikasi, telepon
hanya disediakan oleh jasa warung telepon (Wartel) yang ada di kota-kota
kecamatan lewat sambungan telepon satelit. Sedangkan kantor pos hanya berada di
kota kecamatan.
Perekonomian di kepulauan ini di dasari oleh pemanfaatan sumber
daya alam dan menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dimana sebagian besar
masyarakat kepulauan Togean hidup sebagai petani dan nelayan yang sangat
bergantung pada keberadaan sumberdaya alam. Sumberdaya alam laut kepulauan
Togean memiliki nilai ekonomi yang paling besar dibandingkan sektor pertanian
dan perkebunan. Khusus di sektor kelautan, bentuk pemanfaatan sumberdaya alam
laut dan pesisir di kepulauan Togean masih dilakukan dalam skala kecil yang
sangat mengandalkan pada unit ekonomi keluarga dan penggunaan peralatan tangkap
tradisional. Pada sektor pariwisata, kepulauan Togean juga memiliki potensi
yang besar khususnya bagi wisatawan yang ingin menikmati pemandangan bawah lau
ataupun jungle trekking. Kegiatan
ekonomi lainnya adalah penangkapan ikan pelagis, yang sudah dilakukan dalam 15
tahun terakhir oleh masyarakat kepulauan Togean. Penangkapan ikan pelagis
dilakukan dengan rompong (rakit yang diikat jangkar dan diletakkan di laut
dalam). Jenis ikan yang menjadi sasaran penangkapan antara lain tuna, lajang
(Decapterus macrosoma), dan cakalang (Gymnosarda unicolor). Penangkapan ikan
karang sangat umum dilakukan di kepulauan Togean. Secara subsisten, nelayan
setempat sejak dahulu menggunakan kail untuk menangkap berbagai jenis ikan
karang, khususnya kerapu. Penangkapan ikan karang semakin marak dilakukan saat
diperkenalkannya perdagangan ikan karang hidup untuk keperluan ekspor.
Jika dilihat dari sisi budaya, penduduk Kepulauan Togean (termasuk
Pulau Una-una) memiliki latar belakang etnis yang beragam seperti Bobongko,
Bajau, Saluan, Togean, Kaili, Bare’e, Taa, Gorontalo, dan Bugis. Etnis
Bobongko, Bajau, Saluan dan Togean sering dianggap sebagai kelompok masyarakat
asli kepulauan Togean. Masyarakat Bajau dan Bobongko lebih menyebar tapi
umumnya terkonsentrasi pada beberapa desa tertentu. Desa-desa Bajau antara lain
Kabalutan, pulau Anam, Siatu, dan Milok. Sementara etnis Bobongko tersebar di
beberapa desa seperti Lembanato, Matobiyai, Tumbulawa.
Beberapa etnis di Kepulauan Togean masih memiliki sistem
pemanfaatan SDA yang diperoleh secara turun-temurun. Mereka menerapkan beberapa
aturan serta praktek pengelolaan sumberdaya alam yang ramah lingkungan dan
berdampak positif terhadap kelestarian alam Togean. Ini merupakan bentuk-bentuk
budaya lokal hasil dari proses adaptasi dan interaksi antara masyarakat Togean
dan alamnya selama bertahun-tahun.
Orang Bobongko masih menerapkan hukum bayan dan aturan adat
gonggan pagaluman dalam pemanfaatan hutan sagu di wilayah mereka. Gonggan
pogaluman merupakan salah satu contoh bahwa sistem adat memiliki kemampuan
mengatur sumber daya milik bersama dalam secara berkelanjutan.
Orang Bajau sangat memahami terumbu karang. Mereka memiliki
penamaan khusus untuk terumbu karang yaitu sappa, lana, dan timpusu. Masyarakat
Bajau juga biasa melakukan bapongka, yaitu suatu kegiatan melaut yang dilakukan
secara berkelompok. Mereka biasanya pergi untuk beberapa hari (atau minggu)
untuk mengumpulkan hasil laut (misalnya: teripang). Beberapa jenis ikan lainnya
yang terkait dengan ekosistem terumbu karang, terutama yang bergerombol ekor
kuning (Caesio sp). Sayangnya, sebagian nelayan menggunakan bahan peledak untuk
menangkap jenis-jenis ikan tersebut.
E. Material-material Gunung Colo
Erupsi Gunung Colo menghasilkan batuan piroklastik
yang melimpah sedangkan aliran lava relatif sedikit ditemukan, yaitu hanya
berada di sekitar daerah puncak dan sebagian di lereng berupa produk erupsi
samping.
Batuan piroklastik dan lava di Pulau Una-una
secara geokimia memiliki pola adakitik dari kisaran komposisinya,
berkarakteristik kaya akan silika (SiO2 ≥ 60 %), MgO < 3%, unsur
Y dan HREE yang relatif lebih rendah terhadap busur kepulauan normal
berkomposisi andesit, dasit dan riolit (ADR), konsentrasi Sr yang tinggi
(>2000 ppm) dan adanya pengayaan unsur Nb. Petrografi dari bom piroklastik
di dominasi oleh mineral plagioklas, k-feldspar, hornblende dan biotit dengan
gelas sebagai matriks yang memiliki kemiripan komposisi dengan lava, bertekstur
porfiritik, di dominasi oleh plagioklas, k-feldspar, hornblende, dan biotit
sebagai fenokris dengan masa dasar gelas, mikrolit plagioklas dan mafik
mineral. Secara tektonik, adakit terbentuk oleh parsial melting dari kerak
samudera yang masih muda dan apabila dibandingkan dengan adakit di beberapa
lokasi diperkirakan bahwa kerak samudera yang berada di dekat palung berumur <
25 juta tahun ketika subduksi terjadi.
Batuan Gunung Colo yang dominan yaitu batuan
andesit yang dapat
dimanfaatkan sebagai bahan batu belah untuk bahan konstruksi (bangunan dan
jalan), bangunan perumahan, alas jalan, sebagai agregat, pondasi, batu
hias dan sebagainya. Andesit juga dapat dijadikan sebagai bahan baku
industri poles (tegel, ornamen). Batuan ini sangat potensial untuk
dikembangkan ke arah eksploitasi (penambangan) dengan skala besar.
DAFTAR PUSTAKA
HMGI. (n.d). Gunung Colo : Sejarah
Pembentukan dan Tatanan Tektonik di Sekitarnya. Retrieved from http://hmgi.or.id/gunung-colo-sejarah-pembentukan-dan-tatanan-tektonik-di-sekitarnya/
at November 4th 2015
IAGI. (2013). Adakite Rock From Una-una ISland, Central Sulawesi. Retrieved from http://www.iagi.or.id/paper/adakite-rock-from-una-una-island-central-sulawesi at November 4th 2015
Kementerian ESDM Badan Geologi.
(2014). Dasar-dasar Gunungapi Indonesia.
Retrieved from http://www.vsi.esdm.go.id/ at November 4th 2015
Kementrian ESDM Badan Geologi.
(n.d). G_Colo (pdf). Available at http://www.vsi.esdm.go.id/
at November 4th 2015
Kementerian ESDM Badan Geologi.
(2015). Penurunan Tingkat Aktivitas G.
Colo Dari Level II (waspada) Menjadi level I (Normal) Sejak 26 Oktober 2015.
Retrieved from http://www.vsi.esdm.go.id/index.php/gunungapi/aktivitas-gunungapi/961-penurunan-tingkat-aktivitas-g-colo-dari-level-ii-waspada-menjadi-level-i--normal-sejak-26-oktober-2015
at November 4th 2015
Lubis, H. A. (n.d). Proses Pembentukan Gunungapi Una-una.
Retrieved from http://dokumen.tips/documents/proses-pembentukan-gunungapi-una-una.html
at November 4th 2015
Nouval, N. (2009). Andesite. Retrieved from http://petrolab-upn.tripod.com/Andesit.htm
at November 4th 2015
Vulcano Discovery. (n.d). Andesite. Retrieved from http://www.volcanodiscovery.com/id/photoglossary/andesite.html
at November 4th 2015
Wardhono,
F.I. (2014). Profil Wilayah Kepulauan
Togean. Retrieved from http://www.slideshare.net/fitriwardhono/profil-wilayah-kepulauan-togean
at November 4th 2015
izin share untuk mengenang sejarah gunung colo bagi penduduk 1983 dan turunannya
BalasHapus